oleh

Komitmen Pemulihan Ekonomi Mikro Oleh Farhat Abbas

Jakarta, – Sungguh berbahaya. Itulah kondisi ekonomi mikro nasional akibat covid-19. Dampak destruktifnya bagai bom waktu. Siap mengancam stabilitas politik nasional. Karenanya – sedini mungkin – Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan solutif (UU No. 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Covid-19). Arahnya jelas: upaya melindungi kehidupan masyarakat yang sangat terancam itu. Yang perlu kita analisis lebih jauh, bagaimana komitmen bank-bank penyalur dana stimulus untuk mengatasi persoalan ekonomi mikro itu?

Seperti kita ketahui, Pemerintah – melalui UU No. 2 Tahun 2020 – telah mengalokasikan anggaran untuk mengatasi persoalan UMKM akibat covid-19 mencapai Rp 123,46 trilyun. Jumlah ini dialokasikan untuk lima kegiatan: subsidi bunga sebesar Rp 35,28 triliun; penempatan dana untuk restrukturisasi sebesar Rp 78,78 triliun; belanja imbal jasa penjaminan (IJP) sebesar Rp 5 triliun; PPh final UMKM ditanggung pemerintah (DTP) sebesar Rp 2,4 triliun; serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (LPDB KUMKM) sebesar Rp 1 triliun.

Alokasi tersebut menempati urutan kedua dari sisi jumlah lima alokasi biaya penanganan Covid-19 yang lain, yakni untuk perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, insentif usaha Rp 120,61 triliun, sektoral kementerian atau lembaga dan Pemda Rp 106,11 triliun, kesehatan Rp 87,55 triliun, serta pembiayaan korporasi Rp 53,57 triliun.

Kita perlu mencatat, untuk dan atau atas nama tertib administrasi keuangan negara, dana stimulus itu ditempatkan di bank-bank BUMN, bersistem konvensional ataupun syariah. Pencairannya pun di bank-bank “Plat Merah” itu. Sebuah renungan, sejauh mana bank-bank itu menjalankan komitmen stimulus rekonstruksi ekonomi UMKM, terutama usaha mikro?

Catatan di lapangan menunjukkan, tak sedikit dari pengusaha mikro sering diperhadapkan mekanisme pembiayaan atau kredit yang “berliku”. Banyak persyaratan yang menjadi kendala. Dan itu mengakibatkan di antara pelaku usaha mikro tak bisa memanfaatkan dana stimulus itu. Dalam hal ini bank-bank penyalur tetap menerapkan prasyarat yang mengarah pada prinsip prudent (kehati-hatian). Tidaklah keliru, tapi prinsip-prinsip kehati-hatian yang berlebihan mengakibatkan proses pencairan dana stimulus menjadi terbatas. Tak sesuai target, dari sisi jumlah penerima ataupun volume nilai yang harus dicairkan. Dan hal ini bedampak pada melesetnya tujuan dikeluarkannya kebijakan anggaran bagi terdampak covid-19. Ada praktik atau prinsip bank penyalur menjadi miss (meleset) dari kebijakan mulia Pemerintah itu.

Sebagai ilustrasi faktual, ada pengusaha kuliner di Surabaya. Dia pensiunan pegawai negeri. Sebelum terdampak covid-19, dirinya telah berhubungan dengan satu bank Plat Merah. Pembayaran cicilan lancar, karena sumber pencicilan utamanya potong dana pensiunannya. Tapi, akibat covid-19 dan usaha kulinernya bermasalah, hal ini mengakibatkan pula pada ketidak-lancaran pembayaran cicilan kreditnya. Kondisi ini menggerakkan dirinya berhubungan dengan bank kreditur itu untuk mendapatkan dana stimulus. Tapi, pihak bank penyalur – dengan alasan ketidaklancaran pembayaran sebelumnya – mengakibatkan calon debitur ini tak bisa mengajukan dana stimulus usaha mikro itu.

Uniknya lagi, calon debitur sempat mendapat tawaran bank lain untuk skim take over of credit. Ketika dilakukan komunikasi pemindahan kewajiban, pihak bank kreditur pertama – awalnya – mempersilakan. Tapi, berikutnya berubah. Bahkan, pihak bank kreditur pertama ini melakukan komunikasi dengan calon bank pengambil alih kredit. Hasilnya, calon bank pengambil alih pinjaman batal melakukan take over itu. Singkat kisah, ada “permainan” tidak fair antar-bank, yang bermakna mempersulit debitur, padahal dirinya – selama ini – terkategori lancar pembayarannya. Hal ini sesuai dengan sumber pembayaran dari dana pensiunannya.

Dalam hal ini kita perlu mempertegas. Sikap bank penyalur terkategori dana stimulus recovery tidak peka terhadap kondisi ekonomi mikro yang tengah terjadi saat ini. Perilaku bank seperti ini perlu mendapat perhatian khusus. Kita dapat memahami prinsip bank yang prudent itu, selagi posisi dananya memang bank, atau dana pihak ketiga yang tersimpan di bank tersebut. Yang menjadi masalah, pihak bank hanyalah lembaga keuangan yang mendapat amanah untuk penyaluran dana stimulus itu.

Sebenarnya, pihak bank hanya memerlukan sistem pengadministrasian yang jelas dan tertib. Misi bank penyalur menertibkan penyaluran dana stimulus itu, bukan menilai secara ketat tentang kemampuan pengembalian bagi para pengusaha mikro. Andai terjadi ketersendatan pengembalian, sesungguhnya bank tidak menerima risiko terkait non-performing loan (NPL). Karena itu menjadi pertanyaan yang mendasar, apa landasan bank mempersulit pencairan dana stimulus, terutama bagi penusaha mikro?

Sikap bank tersebut bisa dinilai sebagai penghambat. Bukan hanya masalah program pemulihan dan penyelamatan ekonomi mikro yang lagi terpuruk, tapi dampak lebih jauhnya. Andai sikap bank penyalur seperti ini menjadi perilaku seluruh bank atau setidaknya mayoritas, maka pihak bank harus bertanggung jawab pada keberlanjutan keterpurukan ekonomi mikro itu. Hal ini tentu akan berdampak lebih jauh. Yaitu, merembet ke peta sosial yang lebih memprihatinkan.

Dampak kontigion ini sejalan dengan degradasi ekonomi mikro bukan hanya menderitakan sang pelaku ekonomi itu sendiri, tapi para pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha ekonomi mikro itu. Penurunan mereka berpotensi pada pemutusan hubungan kerja. Meski kemungkinan sang pelaku ekonomi mikro ini dibantu oleh dua atau tiga orang, tapi pemutusan hubungan kerja mereka sungguh merupakan petaka pendapatan bagi para tenaga kerjanya. Jika mereka berkeluarga, berarti terjadi krisis kesejahteraan keluarga akibat pemutusan hubungan kerja itu. Jika kondisi ini meluas, sama artinya bank penyalur telah menciptakan perluasan peta sosial yang memprihatinkan ini. Pihak bank penyalur harus bertanggung jawab.

Yang lebih merisaukan adalah, andaikan dampak kontigion dari krisis sosial itu meluas, maka berpotensi pada krisis politik dalam bentuk instabilitas. Jika hal ini terjadi, maka peta krisisnya benar-benar mengancam keadaan keamanan negara. Inilah rentatan peta krisis yang tidak dipahami oleh bank penyalur.

Karena itu, keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) – sebagai sikap empatinya terhadap kualitas ekonomi mikro dan masyarakat luas – berkepentingan untuk menyampaikan sikap: pihak bank penyalur seharusnya menyambut positif-konstruktif terhadap kebijakan pemulihan ekonomi mikro, di samping pelaku ekonomi kelas menengah dan kecil. Bank penyalur dana stimulus tak seharusnya bersikukuh untuk lebih prioritaskan debitur besar, lalu memandang sepit calon-calon debitur kecil dari kalangan pengusaha mikro.

Kini, pengsuaha mikro sangat memerlukan kepedulian (empati). Bank penyalur tak punya opsi lain kecuali harus mengimplementasikan kebijakan keberpihakan negara kepada hak-hak ekonomi mikro dan pelaku usaha lainnya. Mengapa dipersulit jika memang bisa dipermudah. Yang penting jelas dan tepat sasaran. Inilah kata kunci percepatan pemulihan ekonomi. Urgensinya untuk mencegah tragedi yang tak diharapkan: dari sisi kemanusiaan (sosial-ekonomi), apalagi stabilitas politik. Mencintai negeri ini bukan? Jika ya dan committed, tunjukkan kebijakan responsifnya kepada para pelaku ekonomi mikro itu. Jangan tundak. Now.

FPRN

Jakarta, 10 Januari 2021
Penulis: Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (DAULAT)

Komentar