oleh

“Pembelajaran Paradigma Baru” Perubahan Atau Sekadar Harapan?

“Pembelajaran paradigma baru” merupakan tagline dalam program terbaru Kemdikbudristek, yakni Sekolah Penggerak. Tetapi apakah benar program ini adalah paradigma yang baru dalam dunia pendidikan? Jika kita melihat pada arti kata paradigma yang dalam KBBI berarti kerangka berpikir. Jadi pemikiran seperti apa yang dibentuk oleh program ini?

Kata “baru” dalam kalimat ini tidak berarti bahwa arti kata tersebut benar-benar baru, hal ini tertulis dalam mengutip penjelasan di web program sekolah penggerak bahwa program sekolah penggerak merupakan penyempurnaan program transformasi sekolah sebelumnya. Hal ini menginformasikan bahwa sesungguhnya program ini adalah penyempurnaan, ada sesuatu yang berubah atau diganti demi menyempurnakan dari pembelajaran sebelumnya.

Jauh sebelum banyaknya perubahan, sudah ada beberapa teori dasar dalam pembelajaran yang dipikirkan para ahli. Teori-teori ini diharapkan bisa menjadi dasar yang dapat mengakomodasi kebutuhan peserta didik. Dengan adanya beberapa perubahan pembelajaran dalam program sekolah penggerak, masihkah teori-teori ini relevan dan dapat sejalan?

Seorang psikolog berasal dari Swiss, Jean Piaget, mengembangkan teori kognitif. Berkat teori Piaget, lahirlah perkembangan psikologi yang mempengaruhi perkembangan konsep kecerdasan. Teori kognitif berbicara mengenai orang-orang yang membangun keterampilan kognitif dengan motivasi diri untuk lingkungan mereka (HermanAnis.com).

Teori ini mengungkapkan cara seseorang mendapatkan interpretasi informasi secara mental. Pentingnya informasi ini nantinya dapat dilihat dari kesiapan orang tersebut dalam mengungkapkan pendapat sesuai dengan informasi yang diperoleh melalui literasi terhadap lingkungannya. Dari pendapat ini dapat diketahui cara berpikir atau kemampuan kognitif dari seseorang. Di dalam program sekolah penggerak hal pertama yang sejalan dengan teori ini terlihat pada sistem perekrutan sekolah untuk menjadi sekolah penggerak. Menurut situs Program Sekolah Penggerak, program ini mengakselerasi kondisi sekolah negeri dan swasta bergerak 1-2 tahap lebih maju. Akselerasi ini tentu tidak main-main, dibutuhkan sumber daya yang siap agar terjadi percepatan yang diharapkan. Dalam perekrutan sekolah penggerak, Kepala Sekolah yang memenuhi standar yang ditetapkan boleh mengajukan diri, yang nantinya akan diseleksi.

Dalam proses seleksi, kepala sekolah melewati beberapa tahap. Tahap pertama adalah menyampaikan kondisi sekolah, kebijakan dan cara pandang kepala sekolah terhadap semua urusan sekolah. Ini dilakukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan secara esai. Dalam tahap ini terlihat bagaimana pemerintah yakin bahwa hal pertama untuk membuat perubahan adalah mengubah pola pikir para pemegang keputusan atau kebijakan pada masing-masing sekolah, agar nantinya terjadi perbaikan kualitas bagi peserta didik. Di dalam esai tersebut, kepala sekolah memaknai informasi secara mental terhadap keadaan sekolah dan cara memimpinnya secara keseluruhan sebagai sebuah lingkungan. Bukan hanya sebagai seleksi, hal ini nyatanya juga dapat diterapkan pada pembelajaran. Hal ini dapat dimaknai sebagai pengingat, bahwa dalam pembelajaran sebelumnya terbatasnya ruang peserta didik untuk menyampaikan pendapatnya dari hasil memaknai informasi. Penilaian lebih menitik beratkan pada hasil angka dan bukan bagaimana sebuah informasi dapat dimaknai atau disampaikan dengan tanggung jawab.

Di tahap kedua proses seleksi, kepala sekolah akan diuji pemahaman literasi, analisis serta logikanya dalam Tes Potensi Skolastik. Ini masih termasuk dalam teori kognitif. Tetapi bukan lagi terpaku pada kompetensi “hafalan”, hal ini dapat memperlihatkan bagaimana seseorang mampu menganalisis berdasarkan logika dan pemahaman literasi konteksnya. Hal ini tentunya menjadi bahan dasar pada SDM untuk bisa diakselerasi.

Dari sistem perekrutan sekolah penggerak ini sudah tergambar penerapan teori belajar kognitif dan menjadi transformasi bagi pembelajaran sebelumnya secara jelas terlihat dari penerapan Asesmen Nasional (AN) yang mulai dilakukan pada tahun ini. Asesmen Nasional yang memiliki fokus literasi dan numerasi berjalan beriringan dengan program sekolah penggerak. Asesmen Nasional memiliki tujuan sebagai pengukur kompetensi secara konstruktif dan adaptif siswa, bukan lagi sekedar penguasaan konten. Mengapa harus literasi yang digunakan sebagai alat ukur? Survei dari Program for International Student Assessment (PISA) bisa menjadi jawabannya. Berdasarkan survei yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019 mencatat bahwa Indonesia berada di rangking 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, yang berarti juga menjadi 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah (Azis, 2021). Hal ini tentunya menjadi keadaan yang memprihatinkan. Literasi merupakan kemampuan dasar seseorang dalam memahami suatu konteks. Dengan memahami konteks maka siswa diharapkan mampu menerapkan konsep pembelajaran apapun ke dalam kebutuhan kehidupan sehari-harinya sehingga mampu menciptakan solusi terbaik bagi kemajuan bangsa. Untuk itulah, Asesmen Nasional ini menjadi salah satu alat ukur yang selaras dalam memaknai secara mental pada teori belajar kognitif.

Jika menganalisis lebih dalam teori belajar kognitif ini dalam Program Sekolah Penggerak (PSP) juga diakomodasi dengan adanya fase-fase pembelajaran. Inti dari teori belajar kognitif ialah bagaimana muncul dan diperolehnya skema seseorang dalam mempersepsikan lingkungan dalam tahapan-tahap perkembangan manusia. Tahapan-tahapan perkembangan menjadi hal yang perlu digaris bawahi dalam hal ini. Artinya sebagai manusia kita memiliki tahapan perkembangan, untuk itulah secara kognitif seseorang perlu diberikan kompetensi sesuai dengan perkembangan tersebut. Tahapan perkembangan yang diabaikan akan membuat seseorang tidak mampu menyerap segala informasi yang seharusnya didapatkan dari lingkungannya, hal ini berkemungkinan seseorang tersebut tidak mampu beradaptasi dengan masyarakatnya. Perhatian khusus pada tahapan perkembangan manusia atau dalam PSP disebut Fase Perkembangan yang memuat capaian pendidikan yang lebih praktikal dibandingkan dengan teoritis. Inilah transformasi selanjutnya yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas pendidikan.

Membahas pendidikan atau pembelajaran tidak bisa hanya berhenti pada kemampuan kognitif karena tujuan utamanya bukanlah menciptakan robot pintar. Untuk itu teori belajar Behavioristik juga patut dipertimbangkan dalam kurikulum pendidikan. Gagne dan Berliner ialah ahli yang membuat teori belajar behavioristik yang isinya membahas perubahan perilaku yang terjadi karena pengalaman belajar. Perubahan perilaku menjadi hal khusus yang dituangkan dalam PSP. Pembentukan perilaku tidak lagi cukup tersirat dalam kegiatan pembelajaran, tetapi secara jelas tertulis dan mendapatkan porsi yang cukup banyak dalam proses pembelajaran tersebut.

Perilaku yang ingin dibentuk dalam sekolah penggerak dikenal dengan profil pelajar pancasila. Seperti yang dikutip dari laman Cerdas Berkarakter Kemdikbudristek bahwa Profil pelajar Pancasila memiliki enam ciri utama: Beriman, Bertakwa Kepada Tuhan YME dan Berakhlak Mulia, Berkebhinekaan Global, Bergotong Royong, Mandiri, Bernalar Kritis, dan Kreatif (Mulyadi, 2021). Dalam mewujudkan generasi yang memiliki profil ini dalam kurikulumnya sekolah penggerak mengalokasikan 25% pengerjaan Proyek Profil Penguatan Pelajar Pancasila dari pembelajaran. Belajar berbasis proyek diharapkan mampu menghadirkan pengalaman belajar yang lebih relevan bagi siswa. Sekolah adalah simulasi dari masyarakat sebenarnya. Keterlibatan semua siswa dalam berbagai kegiatan proyek akan mampu membuat siswa memproyeksikan perannya nanti dalam kehidupan bermasyarakat. Kegiatan proyek ini juga diwajibkan dapat dilakukan sekolah dengan mengambil tema berbeda yang sudah disediakan. Proyek dapat dikemas sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan sekolah.

Hal pertama yang memperlihatkan transformasi dari pembelajaran sebelumnya adalah kata akhlak dalam profil pertama pelajar pancasila. Akhlak yang secara terminologi adalah perilaku seseorang didorong oleh keinginan sadar untuk melakukan perbuatan baik. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu keyakinan kepada Tuhan yang harus disertai dengan tindakan yang ditujukan untuk kebaikan bersama, bukan kebaikan kelompok atau agama tertentu.

Berkebhinekaan global dan gotong royong menjadi dua hal selanjutnya dalam profil pelajar pancasila yang dapat dicermati sebagai bentuk transformasi. Kedua hal ini sejalan dengan keinginan kuat pemerintah untuk menghapus intoleransi dan perundungan sebagai dua dari tiga dosa pendidikan seperti yang disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim dalam acara Peluncuran Aksi Moderasi Beragama, Kemenag lewat daring, Rabu (22/9/2021). Mengembalikan lagi makna semboyan Bhineka Tunggal Ika, profil pelajar pancasila ini harus memuat kegiatan-kegiatan yang membuat siswa penuh kesadaran memahami bahwa harus hidup dalam keberagaman dengan tambahan bukan lagi keberagaman antar warga negara Indonesia tetapi juga secara global. Dengan menyadari, maka akan muncul saling menghargai, meminimalisir peperangan dan belajar dari perbedaan untuk menciptakan solusi terbaik bagi kehidupan umat manusia. Pencegahan perundungan juga menjadi poin penting dalam Sekolah Penggerak. Dikutip dari laman cerdas berkarakter kemdikbud bahwa perundungan pernah dialami oleh 41% pelajar berusia 15 tahun. Inilah yang secara tidak sadar menjadi hambatan terbesar siswa tidak merasa aman dan nyaman belajar, yang menyebabkannya kehilangan motivasi belajar. Pencegahan perundungan diupayakan dengan program ROOTS yang menitikberatkan pada siswa sebagai agen perubahan yang akan menyebarkan kebaikan kepada teman-teman yang lainnya. Keterlibatan siswa menjadi agen perubahan menjadi sangat krusial dalam program ini (Bisnis.com, 2020). Hal ini dikarenakan perundungan biasanya terjadi dan tidak dilaporkan karena dianggap sepele oleh sebagian besar orang. Hal itu dianggap sebagai bentuk kebiasaan yang normal, padahal nyatanya trauma yang dihasilkan bisa berdampak pada fisik dan psikologis secara berkepanjangan.

Secara teori belajar kognitif dan behavioristik dapat dibuktikan adanya transformasi yang untuk memperbaiki kualitas pendidikan yang diharapkan. Akan tetapi transformasi ini tidak akan berguna bila tidak didukung oleh ujung tombak pendidikan, yakni guru dan stakeholder sekolah. Sekolah harus menjadi lingkungan yang aman dan nyaman dan guru dan stakeholder harus dapat menjadi teladan yang memotivasi. Kedua hal ini nantinya akan membentuk siswa menjadi manusia seutuhnya yang menjadi pembelajar sepanjang hayat yang haus akan ilmu. Melahirkan siswa yang memiliki kompetensi global dan memiliki nilai-nilai Pancasila dalam dirinya sebagai identitas diri dan bangsa. Menciptakan tujuan utama kebermanfaatan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Menjadikan slogan “Merdeka Belajar” benar-benar dapat dimaknai secara kognitif dan behavioristik sebagai bentuk pemahaman dan perilaku (Sarbaini, 2016).

References
Azis, W. (2021, November 6). Rendahnya Dunia Literasi Kita.
Bisnis.com, N. A. (2020, September 11). Siswa dan Mahasiswa Jadi Agen Perubahan Perilaku, Ini Dampaknya.
HermanAnis.com. (n.d.). Teori Belajar.
Mulyadi, E. (2021, December 5). 1.2.A. Nilai dan Peran Guru Penggerak-Jurnal Refleksi Minggu ke-3.
Sarbaini. (2016). (Sarbaini, Ed.) MEMBANGUN KARAKTER KEMANUSIAAN, MEMBENTUK KEPRIBADIAN BANGSA MELALUI PENDIDIKAN. doi:10.1371/jorunal.0148257

ESAIS : DEVI NATASSIA IRAWAN
MAHASISWA S-2 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA (UHAMKA), JAKARTA
SEBAGAI TUGAS MENULIS ESAI MATA KULIAH INFORMATION and COMMUNICATION TECHNOLOGY

Komentar